Friday, May 31, 2013

ARGUMENTS: UNAS


Dalam rangka pengumuman nem unas SMP, saya dengan penuh perasaan menulis artikel ini. Bagaimanapun juga saya pernah merasakan duduk di bangku SMP dan bergumul dengan yang namanya pra dan pasca UNAS. Sebelumnya saya minta maaf apabila nantinya anda termasuk pihak yang dipojokkan, namun dari lubuk hati yang paling dalam, tidak ada niat dari diri saya untuk memicu pertengkaran, hanya sebatas mengkritisi dan memberi tanggapan akan fenomena yang selalu gempar ini.

            Tahun lalu saya berada di situasi tegang akibat UNAS. Saya yang dulunya murid paling nakal di sekolah, paling gak bisa apa-apa, dan yang jelas saya nggak seberapa pinter. Seiring berjalannya waktu, saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan alhasil saya berhasil mendapatkan danem dengan rata-rata sembilan. Awalnya sih saya senang, kemudian alangkah sakitnya hati ini mendapati bahwa teman-teman berhasil mencetak tidak hanya rata-rata sembilan, tapi hampir sempurna. Saya dan bunda semalaman menghitung danem se-Surabaya dan menyadari bahwa danem saya ‘hopeless’. Tidak bisa masuk manapun, walaupun sekolah ‘pinggir’ pun saya tidak mampu. Saya menangis setiap hari (ini hanya menangis, tidak diikuti belajar). Saya menyesali pola belajar saya yang hanya 15 menit sehari. Danem saya 36,45, danem yang saya butuhkan untuk masuk sekolah ‘pinggir’ sekalipun harus mencapai angka minimal 37,00. Akhirnya saya pasrah dan dengan sangat terpaksa mengikuti tes RSBI. Itupun saya belajar setengah hati karena memang bukan itu sekolah tujuan saya. Saya belajar dua hari sekali dengan intensitas yang sama, kurang lebih 15 menit (percaya atau tidak, memang 15 menit). Dan Allah SWT menurunkan rahmatnya, saya diterima dengan nomor urut 81 di sekolah pilihan pertama. Kaget, senang, dan sedih (berpisah dengan teman). Waktu itu penilaian dibagi atas 60% nem dan 40% hasil tes. Mukjizat, karena nem saya sangat mungil.

            Paragraf diatas intermezzo saja, pengalaman saya di SMP akibat pola belajar yang meremehkan dan kurang baik untuk dicontoh. Yang perlu saya tekankan adalah, tahun angkatan saya sedang ‘usum’ jokian. Pasti sudah tau joki itu apa, sejenis olahraga yang menggunakan puck dan lapangan berupa horison es. Saya korban jokian, dan beberapa teman saya juga korban. Hanya perbedaannya saya diberi mukjizat dan beberapa teman saya terlantar akibat ledakan nilai danem. Pasti semuanya juga sudah tau ‘terlantar’ artinya apa. Dengan sedikit penekanan, saya ingin memberi sedikit kritik akibat sistem pendidikan di Indonesia yang masih sangat konvensional yaitu UNAS. Saya pribadi tidak setuju walaupun saya sendiri tidak berbuat apa-apa, yang bisa saya perbuat hanya menulis kritik dan saran. Definisi UNAS sendiri sudah mengerikan, tiga tahun sekolah dan 4 hari menentukan segalanya, sangat tidak adil dan makmur.

            Saya bingung harus membahas dari mana, sudah satu tahun saya melupakan hal ini, awalnya saya menggebu dan banyak mengkritik. Dimulai dari akarnya saja.

1.     Timbulnya UNAS
a.     Saya tidak bisa semena-mena menerka dan menetapkan motif dari munculnya UNAS ke dunia yang fana ini. Saya tidak tahu pasti, tapi menurut saya UNAS diadakan untuk mempermudah menentukan kelulusan. Dulu nilai minimal bekisar antara 3 sampai 4, seiring berjalannya waktu sekarang jadi 5 atau lebih. Ada kesan diskriminasi disini. Setiap siswa berhak untuk lulus, kembali  kepada fungsi sekolah sendirim yaitu lembaga menuntut ilmu bukan menuntut kelulusan.
b.     UNAS diadakan untuk mempermudah menentukan kelulusan,  mau tidak mau bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk keperluan pribadi, entah itu oknum dari dalam maupun luar dalam berbuat curang.
c.      Tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, karena bagaimanapun juga pasti ada pihak pro dan kontra terhadap UNAS. Bagi pemerintah juga susah untuk memutuskan akan menghapus UNAS, atau justru meningkatkan levelnya. Namun jika saya duduk di kursi yang berwenang, saya akan mempertaruhkan apapun demi ditiadakannya sistem diskriminasi ini.

2.     Pelaksanaan UNAS
a.     Saya telah menyebutkan fenomena joki sebelumnya. Ini adalah efek samping dari diadakannya UNAS. Curang ada karena peraturan ketat yang mau tidak mau mengurangi kesempatan untuk dapat lolos. Curang berawal dari rasa tidak pede, lalu takut nilai jelek, kemudian gengsi, dan akhirnya efek yang sebenarnya adalah menimbun kebohongan besar. Mungkin mencontek adalah hal wajar, saya sendiri melakukannya. Alangkah baiknya jika seseorang dapat memilah kapan harus mencontek, dan kapan harus kerja murni. Pikirkan kembali sebelum menggunakan jokian karena efek samping yang ditimbulkan mungkin diluar dugaan. Pernahkan kalian yang ‘terlanjur’ menggunakan joki berempati kepada mereka yang harus sekolah di sekolah yang muram masa depan akibat kalian yang merebut kursi mereka? Pernahkah kalian berpikir panjang dan melebarkan cakupan risiko yang mungkin terjadi jika nilai UNAS meledak? Kasihan yang jujur, kasihan yang belajar, kasihan yang sudah mati-matian demi UNAS, kalian sita kursi mereka dengan nilai hasil kebohongan? Ini berbeda dengan nyontek skala UH atau UTS. Semua ada waktunya, pertimbangkanlah konteksnya, jangan asal mencontek tanpa berpikir ratusan kali terhadap dampaknya. Mungkin kalian yang berhasil merebut kursi dari teman kalian yang jujur merasa bahwa ini terlalu mainstream. Ya, kalian pihak yang merebut bukan direbut, sulit untuk ikut merasakan betapa susahnya orangtua membiayai sekolah swasta. Tidak hanya masalah biaya, ini juga soal gengsi, jalur undangan, dan jalur menuju masa depan. Apa susahnya sih jujur dan menyerahkan semuanya sama yang diatas?
b.     Empat mata pelajaran inti harus lulus semua, sedikit menimbulkan kesan yang aneh. Pada dasarnya manusia lahir dengan kemampuan dan minat yang berbeda-beda. Unsur gengsi dan diskriminasi sekolah menyebabkan empat mata pelajaran ini sebagai penentu apakah seorang siswa itu pandai atau tidak. Semua orang pandai. Hanya berbeda bidang.

3.     Timbulnya Spekulasi Modern
a.     Nilai unas merupakan penentu apakah anda pintar atau tidak. Sudah bertransformasi menjadi indikator mutlak. Awalnya saya menjadi korbannya, seiring berjalannya waktu saya menyadari, bukan nilai yang menentukan. Kesusksesan bukan tentang angka.
b.     Anggapan siswa terhadap paket unas, ini yang perlu disorot. Akan dibahas lebih rinci di sub-bab berikutnya.
c.      Nilai UNAS penentu kelangsungan hidup yang selanjutnya. Pilih SMA harus dengan angka danem. Seharusnya SMA unggulan adalah SMA yang tidak mengadakan penyaringan siswa, yang berarti siapapun boleh masuk, dan kinerja SMA tersebut menghasilkan output orang-orang sukses. Jadi sebenarnya seperti ini: orang biasa -> masuk SMA C -> dididik oleh SMA C -> jadi orang sukses. Itulah SMA unggulan. Mungkin saya disini sedikit memberikan aspirasi mengenai pembentukan SMA areal. Dilain waktu akan saya tulis mengenai SMA areal ini.

PAKET UNAS
            Ini sub-bab yang saya tunggu-tunggu. Mayoritas siswa menyalahkan jumlah paket unas yang ditetapkan pemerintah. Dilihat dari alasannya, pemerintah menjadikan paket unas ‘multiplied’ akibat tahun kemarin ledakan nilai unas menyebabkan persebaran siswa kacau balau. Mau tidak mau, sebagai siswa sekolah gratis ya harus menerima. Kembali ke beberapa paragraf sebelumnya saya telah menyebutkan ‘dampak dari joki’.  INILAH DAMPAK BERKELANJUTAN BAGI SEGALA PIHAK. Masih keras kepala wahai pengguna joki? Mau saya jabarkan panjang lebar siklusnya?

1.     UNAS nya dibikin beberapa paket
2.     Banyak siswa menggunakan joki ‘untuk jaga-jaga’
3.     Tahun kemarin, danem meledak
4.     Persebaran siswa SMP menuju SMA tidak karuan
5.     Banyak anak masuk sekolah yang tidak sepantasnya
6.     Banyak anak yang tidak sepantasnya duduk di kursi sekolah unggulan jika digunakan perbandingan antara anak yang ‘pantas’ dan ‘belum pantas’. Ditinjau dari peniliaian sepihak atas individu terhadap individu lain (mau tidak mau harus menggunakan metode ini). Metode ini diperkuat dengan pengalaman saya yang mendengar beberapa komentar guru terhadap perolehan nilai siswa. Tau lah pastinya.
7.     Pemerintah, tepatnya dinas pendidikan trauma akan hal ini
8.     Cara efektif yang mungkin dilakukan dalam jangka waktu setahun adalah memperbanyak paket unas. Untuk apa? Supaya jokinya susah dan tidak terjadi ledakan lagi. Simpel kan?
9.     Tahun ini danem banyak kecil akibat jokinya susah, impian diknas bukan untuk membuat bodoh siswa, lebih tepatnya mengutamakan kejujuran.
10.                         Adik kelas, tepatnya angkatan tahun ini komplain akibat paketnya banyak. Sebut saja akibat jokinya susah.

Sudahkah anda menemukan dampak berkelanjutan yang saya maksud? Dari dulu saya sudah sekuat tenaga mengingatkan bahwa dampaknya tidak hanya untuk sekarang tapi juga untuk angkatan berikutnya. Masih belum percaya? Mungkin bagi anda, joki hanya perbuatan sepele. Akan jadi besar jika hampir seluruh siswa melakukan kegiatan joki. Inilah yang ingin saya sampaikan sejak dulu, inilah yang saya jadikan bahan omelan dulu. Inilah apa yang anda caci dulu. Apakah anda termasuk salah satu yang meremehkan perkataan saya dulu? Mungkin dampak besar lainnya belum nampak. Anda tunggu saja.

Lalu adik-adik kita dengan gampangnya menyalahkan pemerintah atas penambahan jumlah paket. Jika anda mengetahui pasti pesan apa yang saya sampaikan pada 10 langkah tadi, anda tahu siapa yang seharusnya patut dipersalahkan. Tidak perlu panjang lebar, anda tahu jawabannya. Pemerintah berbuat demikian akibat ulah siapa.

Saya menghabiskan sabtu ini untuk mengobservasi tanggapan peserta UNAS tahun ini, sebelumnya saya mohon maaf bila anda salah satu dari lampiran yang akan saya tayangkan. Ini hanya untuk pembelajaran dan penguatan argumen dengan dibantu bukti.

 Yang pertama adalah tanggapan seperti disamping. Saya sebagai mantan siswa SMP merasa perkataan seperti ini sangat tidak pantas. Anda sekolah 9 tahun dan ini output anda? Mengatakan bahwa pemerintah goblok? Anda sudah pintar? Susah jokinya ya dek? Saya kehabisan kata-kata, ini memalukan. Memangnya semua salah pemerintah? Ini juga salah angkatan kalian yang sebelumnya. Emang situ bisa jadi pemerintah? Saya pribadi tidak dapat memungkiri bahwa saya pernah merasakan danem jelek dan menyalahkan keadaan, khususnya pemerintah. Awalnya saya beranggapan bahwa jokian berasal dari oknum dalam milik pemerintah (yang mungkin adalah benar), kemudian saya berpikir lama mengenai hal ini, saya menemukan tidak sepantasnya saya berbicara demikian. Pemerintah sudah bekerja keras demi bangsa, jika ada kesalahan seperti ini, yang mungkin bisa dibilang bukan kesalahan melainkan upaya untuk menanggulangi ledakan nilai, anda tidak pantas berkata seperti demikian.

 Inilah tanggapan berikutnya. Saya awalnya merasa bingung dengan kalimat "Niat pengen gawe goblok ta pinter?!". Wahai adik-adikku yang lucu dan imut-imut, maksudnya goblok dan pinter itu adalah joki? Kalo anak pinter ya meskipun paketnya dibuat 2000 tetep gak masalah, toh nggak nyontek siapa-siapa. Sungguh dunia ini membingungkan. Apa sih yang salah sama 20 paket? Susah nyontek? Susah kerja sama? Susah joki? Jadi anak yang pinter itu yang nyontek? Jadi supaya anak pinter itu maka dikasih kesempatan nyontek yang banyak? Inalillahi.. Jadi anak bodoh diakibatkan karena tidak bisa nyontek? Akibat unasnya pake barcode? Tuhan bantu hamba memahami dunia ini.. Tolong pertimbangkan kembali sebelum menulis sesuatu. Saya susah payah memilih diksi untuk menjelaskan pola pikir saya supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Saya tahu mungkin saya akan mendapat tanggapan seperti "banyak bacot lu", "sok tau", dan masih banyak lagi. INI HAK GUWE.

Tanggapan berikutnya cukup kritis namun ada kekurangan, yaitu mengatakan pemerintah goblok. Saya tahu yang dimaksud adalah 'oknum' di dalam pemerintahan, dan saya tahu kegiatan korupsi mungkin saja dilakukan di bidang pendidikan. Dan soal kebocoran, maksudnya adalah jokian (benda yang menyebabkan gempar), itu adalah bentuk komplain atas ketidakadilan sistem pendidikan. Namanya bocor kalo gak dari dalem ya dari mana lagi. Mungkin itu yang hendak disampaikan bahwa joki terlahir di dunia akibat oknum dari dalam. Saya lebih setuju jika tidak ada UNAS di Indonesia. Lihat negara maju lainnya, mana ada UNAS? UNAS butuh biaya dan mengorbankan mental anak bangsa. Namun bagi pemerintah, penghapusan UNAS juga susah, mencari alternatif penggantinya lebih susah lagi.

Yang ini lucu pake bawa-bawa nama Pak Nuh segala. Ini menyinggung perasaan. Usul seperti itu muncul akibat tahun kemarin yang "chaos". Kalo situ yang jadi pemerintah mau apa? Sebenarnya saya sudah kebakaran rambut ketek akibat perkataan adik-adik yang lucu ini. Lalu apa yang penting? Bagaimana supaya penting? UNAS 20 paket tidak penting? Dunia ini serba salah. Jadi siswa salah, jadi pemerintah salah, jadi penulis argumen salah.





Saya sempat berpartisipasi dengan tweet ini, saking murkanya. Seolah-olah statement ini memaksa siswa untuk mengerjakan 20 paket sekaligus, toh mereka hanya mengerjakan satu. MASALAH APA SEBENARNYA YANG TERJADI JIKA PAKETNYA 20? Ya kembali lagi sih, susah nyontek juga susah bawa jokiannya. Memangnya kenapa kalo jaman mereka dulu hanya 2 paket? Nyonteknya gampang? Yaampun saya heran setengah hidup dengan mereka yang beranggapan bahwa paket adalah penyebab segalanya terjadi. Baca kembali 10 tahap yang sudah saya jabarkan sebelumnya. Dan anehnya, kenapa kertas 20 paket harus diemplok....

Sebenarnya ini sama dengan komentar yang sebelumnya bahwa perbanyakan paket membuat siswa menjadi goblok. Apa perlu saya mengulas kembali? Mungkin yang beranggapan seperti disamping banyak. Semoga artikel ini membuka mata mereka... Saya justru berdoa supaya UNAS ditiadakan.
 Yaiyalah masuk SMA favorit tes dulu, inilah akibat dari diskriminasi. Alangkah baiknya jika sekolah di Indonesia menganut sistem sekolah areal. Saya sudah capek menanggapi.
Saya tidak tahu harus menanggapi apa. Yang jelas intinya adalah sama, menyalahkan keberadaan paket UNAS. Kalo nilai kalian jelek, yang salah ya kalian. Yang mengerjakan kan kalian. Kemenyek adalah ungkapan yang tidak tepat untuk menguatkan statement ini. Yasudahlah saya juga bingung ini maksudnya apa.

Saya capek sekali. Saya ingin mengakhiri argumen ini. Semuanya toh pasti sudah tau apa kesimpulannya. Jangan hanya menyalahkan keadaan. Yang sebenarnya nilai jelek bukan karena siapa-siapa tapi karena kalian sendiri. Dan untuk angkatan saya yang sudah terlanjur menggunakan joki, ya selamat menikmati dampaknya. Apalagi yang mencaci saya atas perkataan saya dulu, enjoy the show. Saya minta maaf apabila ada pihak yang tidak nyaman atas keberadaan argumen ini. Namun saya akan tetap mengaspirasikan apapun yang ada di kepala saya, terima kasih.

13 comments:

  1. Artikel nya bagus kak . Saya setuju soal paket soal unas. Justru 20 paket mengurangi kemungkinan kebocoran soal. kalaupun bocor, setidaknya nggak se ekstrim kemarin.

    ReplyDelete
  2. Bagus mbak artikelnya
    Tapi joki masi ada dan banyak yg masi pake denger" yg nyebarin soal ya polisinya sendiri yg dititipi soal
    tapi alhamdullilah mbak saya jujur ngerjain unas

    ReplyDelete
  3. tapi tahun ini memang bocor kok kak ...
    kelas saya yang jujur cuma bisa dihitung pake jari..



    :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah sama kayak taunku dulu dek, joki sudah jadi budaya sih, repot.

      Delete
  4. Tepat! Memang tidak peduli seberapa banyak paket yang dikeluarkan, kalau memang bisa kerja sendiri. Bahkan saya sendiri lebih enak melihatnya masuk sekolah unggulan itu dengan test, lebih terjamin kelanjutan sekolah unggulan itu.

    Menurut saya yang salah, cara oknum di pemerintahan, oknum di sekolah yang terkesan 'menakut-nakuti' tentang pelaksanaan UN ini. Adik-adik kita terlanjut 'Takut' dengan apa yang sebenarnya belum mereka hadapi.
    Yang saya agak sedih jga kemarin, adik saya sempat curhat via BBM dan bilang beberapa mata pelajaran itu jauh meleset dari SKL yang diberikan dinas pendidikan, padahal jelas, mereka semua terfokus pada SKL untuk belajar UN. Jadi untuk apa ada SKL, kalau ternyata soal yang mereka berikan tidak sesuai?
    Ketika dia sudah menghadapi hal seperti ini, mental mereka langsung jatuh, saya sendiri kemarin sempat bingung bangun mentalnya lagi, ketakutan luar biasa sudah membayang.

    Padahal jelas saya tahu adik saya, masuk 10 besar kelas di salah satu SMA unggulan Jakarta, harusnya dia tidak perlu risau dong dengan ujian 4 hari itu? Tapi kenyataannya, hanya "ketakutan" yang mereka hadapi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya dengar tingkat kesulitan UNAS tahun ini ditambah 10%. Ini faktor yang sangat kuat yang akhirnya berdampak pada danem tahun ini, downgraded. Jelas banyak siswa yang mengomel, kita sendiri sebagai penuntut ilmu juga pasti marah akibat SKL yang kurang tepat, selain membuang waktu dan tenaga, namanya orang kepepet pasti ada jalan, ini memicu maraknya joki.

      Sebenarnya sebuah kesalahan disebabkan oleh berbagai pihak. Dalam kasus ini pemerintah, siswa, dan budaya UNAS yang memang kurang tepat. Adik anda yang peringkat 10 besar saja merasa ketakutan tidak bisa masuk sekolah unggulan, apalagi mereka yang bukan juara kelas. Pihak sekolah juga harus mempertimbangkan kembali masalah pemberian SKL yang tidak sesuai, juga penekanan mental yang diberikan pengajar kepada siswa berupa perkataan yang menakut-nakuti seperti ketidaklulusan dsb.

      Saya kira semua yang berhubungan dengan pendidikan di Indonesia perlu membuat perombakan besar tahun depan, dan juga perbaikan tahun ini, sedikit tidak adil rasanya jika standar tes masuk sekolah yang digunakan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, melihat kondisi danem yang sekarang turun drastis.

      Terima kasih atas responnya, saya sangat menghargai pendapat anda.

      Delete
    2. Tahun lalu, saya kocar-kacir cari sekolah buat si kembar, yang satu lulus dengan NEM 39,00 dan saya dengan mudah temukan sekolah untuknya, tapi yang satu hanya dengan NEM 33,3, dan itu berat banget cari sekolah, bahkan ia nyaris masuk sekolah swasta..

      Sekarang, kita hanya berharap dan bisa berdoa sistem pendidikan kita benar-benar bisa diperbaiki.

      Tulisannya bagus! Semangat terus, mengkritik lewat tulisan memang salah satu cara tepat menyadarkan seseorang!

      36,45 itu rendah mba? -_- saya saja waktu itu lulus cuma 36,20 (tuaan saya sih)

      Delete
    3. Saya berharap Indonesia menyadari kemampuan SDM nya, dengan menggunakan dua kemungkinan alternatif, yang pertama dengan memperketat sistem tembak sekolah (tes masuk sekolah), yang kedua adalah dengan menerapkan sistem sekolah areal (ini sih ide saya sendiri, mungkin banyak yang masih belum setuju hehe).

      Mbak tinggal dimana? Saya di Surabaya. Tahun kemarin danem 36,45 itu kecil sekali bahkan bisa dibilang tidak bisa dapet sekolah negeri manapun. Percaya atau tidak saya butuh danem minimal 37,00 untuk masuk sekolah yang paling pinggir, itupun saya masih harus menunggu hari terakhir ketika daftar. Presentasi kenaikan danem di Surabaya tahun kemarin sekitar 300%. Danem 37,00 kebawah tahun kemarin masuk peringkat 20,000 lebih hahaha, miris.

      Delete
    4. Saya tinggal di kota Depok tapi memilih sekolah di Jakarta. Masuk SMA tahun 2008, saya masuk di SMA pilihan ke-2 saya, karena kuota anak luar Jakarta hanya 5% dari semua kuota sekolah...(saat itu NEM saya cukup masuk beberapa sekolah unggulan disana)
      Ya, kondisi nilai memang naik drastis, tahun lalu adik saya masuk dengan NEM 39.
      Yang saya pernah baca di artikel, entah akan terealisasi atau tidak, Jakarta akan coba membagi menjadi beberapa kondisi kuota untuk penerimaan siswa baru. ( 1.jalur prestasi 2. NEM 3.Area sekolah 4.

      Delete
    5. Wah mbak beruntung juga masuk kuota 5%, di artikel yang mbak baca, apa hanya daerah Jakarta saja yang mungkin akan diberlakukan seperti demikian?

      Delete
  5. Good artikel mbak, justru menurut sy pribadi sekolah saat ini berubah artian dari "tempat mencari ilmu" sekarang menjadi "tempat adu gengsi" bukan berdasarkan"hati nurani" tapi "takut dimarahi"(entah oleh siapa) semoga kelak pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan bibit2 muda yang bisa mengangkat negara kita dengan BAKAT MEREKA MASING MASING bukan membanggakan dengan NILAI HASIL KERJA ORANG LAIN . Maaf apabila argumen saya menyakitkan beberapa pihak. Sekali lagi maaf.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anggapan masyarakat terhadap sekolah telah berevolusi, dari tempat menuntut ilmu, menjadi tempat menuntut nilai, gengsi, dan kelulusan. Mau tidak mau seluruh masyarakat harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pergeseran nilai ini. Hal seperti ini harus diperbaiki, karena banyak siswa yang menjadi robot akibat literatur sekolah yang cenderung merebut waktu main remaja seumuran kita (jujur, saya lebih suka main daripada sekolah). Semua remaja suka belajar hal baru, tapi ketika waktu main mereka tersita, akhirnya timbul rasa malas pergi se sekolah.

      Terimakasih pendapatnya, bagus sekali kok, pendapatmu belum tercantum di artikel, tentang pergeseran nilai dalam masyarakat, sekali lagi terima kasih.

      Delete